Entri Populer

Rabu, 02 Februari 2011

Resensi Novel "Laskar Pelangi"


I.     IDENTITAS BUKU
1.      Judul Buku       : Laskar Pelangi
2.      Pengarang         : Andrea Hirata
3.      Penerbit            : Bentang
4.      Kota terbit        : Yogyakarta
5.      Tahun terbit      : 2008
6.      Cetakan                        : Ke-17
7.      Ilustrasi sampul: Sampul novel yang berjudul Laskar Pelangi  ini yang mendominasi adalah warna kemerah-merahan langit pada waktu senja atau sore hari dan warama pelangi, serta di bawahnya tampak warna hitam. Pada bagian atas tertulis INDONESIA’S MOST POWERFUL BOOK denagan warana kuning kecoklat-coklatan. Nampak di bawahnya terdapat gambar siluet yang menggambarkan jumlah orang-orang atau anggota Laskar Pelangi. Di pojok kanan atas tertdapat label atau cap penerbit yaitu Bentang, sedangakan untuk judul nama pengarang Andrea Hirata tertulis dengan huruf berwarana putih, sementara tulisan Laskar berwarna merah muda atau pink dan tulisan Pelangi berwarna kuning dengan huruh dicetak lebih besar. Nampak di bawah bertuliskan “Sebuah novel yang sangat menggugah. Siapapun yang membacanya akan termotivasi dan merasa berdosa jika tidak mensyukuri hidup”. Sebuah pesan yang teramat indah. Semua tulisan itu dimulai dari gambar siluet para anggota Laskar Pelangi sampai ujung bawah sampul, beground hitam. Sementara untuk sampul bagian belakang berisi tau berisi tulisan synopsis novel ini dan pendapat para pakar dan pembaca.

II          Cara Baca
Saya membaca novel ini memerlukan waktu sekitar satu minggu, dengan memanfaatkan waktu luang. Biasanya pada malam hari yang paginya tidak ada jdwal perkuliahan. Seperti malam Sabtu, atau malam Minggu. Saya tidak membutuhkan  waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan membaca buku tersebut. Walaupun bukunya bisa dibilang tebal, dengan ceritanya yang begitu menarik dan memikat tak ayal waktu yang dibutuhkan untuk membaca novel ini sampai habis tidak memerlukan waktu yang lama. Pembaca seolah-olah dibius dengan candu yang memabukan, serasa ingin terus mengikuti isi cerita dalam novel tersebut sampai habis.

II.                Sinopsis
Novel yang berjudul Laskar Pelangi, menceritakan begitu banyak hal yang menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota Laskar Pelangi. Sebelas anak Melayu Belitong yang luar biasa ini tak menyerah walau keadaan tak bersimpati [ada mereka. Tengoklah Lintang, seorang kuli kopra cilik yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu, bahkan hanya untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri diakhir jam sekolah. Atau Mahar, seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus. Dan juga Sembilan anggota Laskar Pelangi lain yang begitu bersemngat dalam menjalani hidup dan berjuang meraih citc-cita. Begitu pahit hidup yang harus dijalani para anggota Laskar Pelangi, namun dibalik semua itu mereka mempunyai semangat yang luar biasa di dukung oleh seorang guru yang tak henti-hentinya member ilmu dan motivasi, yakni Ibu Muslimah. Kekompakan mereka begitu luar biasa, persahabatan diantara mereka sangat lekat. Walaupun mereka bukanlah orang yang dianugrahi kekayaan tetapi mereka tetap bersemngat dan berjuang, tidak kalah dengan orang-orang yang dianugrahi kekayaan. Seperti pada waktu mengikuti perlombaaan cerdas cermat. Terbukti Lintang yang begitu Genius mampu mengharumkan nama sekolah Muhamadiyah dimata orange lain. Tapi kehidupan LIntang tidak secerah otaknya, saat ayahnya meninggal ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan lebih memilih membanting tulang demi menghidupi keluarganya. Karena selain ayahnya hanya dia yang harus bertanggungjawab akan kelangsungan hidup keluarganya.  Hal itu, begitu miris, sementara Mahar harus bersusah payah mengejar ketinggalan karena perbuatannya yang bodoh dan lebih mementingkan provesi paranormalnya daripada sekolah. Haruskah orang-orang seperti Lintang tidak lagi merasakan dunia pendidikan karena keterbatasan akan biaya, padahal dia bisa dikatakan mempunyai asset berharga, otaknya yang begitu genius dengan sekejap harus hilang demi mdlaksanakan kewajibannya untuk menghidupi keluarga setelah ayahnya meninggal dunia. Perjuangan Lintang yang begitu hebat lenyaplah sudah bersama cita-citanya. Tapi begitulah gambaran kehidupan kebanyakan anak di Negeri tercinta kita Indonesia.


III.             Tanggapan
Kelebihan
Dilihat dari segi isinya, novel ini begitu luar biasa karena mampu menyihir pembacanya untuk larut di dalamnya dan seperti yang dituliskan di cover novel ini, yaitu novel yang menggugah semangat. Pembaca dibuat penasaran akan isi yang akan disampaikan pengarang,yang sehingga pembaca di buat terus dan terus penasaran akan hal-hal yang terjadi halaman demi halaman. Bahasa yang digunakan benar-benar menarik dn indah denagn memunculkan setiap kejadian yang dilukiskan dengan gaya bahasa yang menarik. Adapun dari segi cetakannya, menggunakan kertas putih, sehingga membuat pembaca lebih terang ketika membaca pada novel ini.
   Kekurangan
Karena pengarang menggunakan bahasa yang mungkun bagi orang awam kurang dimengerti, sehingga hal ini menjadi kekurangan dari novel ini.
Selain itu kertas yang digunakan nampaknya tidak mendukung, alangkah sempurnanaya jika kertas yang digunakan adalah kertas yang putih. Menambah sempurna novel ini dari segi isi yang terkandung dan bentuk fisiknya.

ANALISIS BAHASA JURNALISTIK (Koran Tempo, Edisi Rabu, 6 Oktober 2010)


I.       Pendahuluan
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers.
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995). Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
             
Bahasa jurnalistik memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features.  Bahkan bahasa jurnalistik pun sekarang sudah memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan  jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch, 2000).
Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama ada yang menyebut laporan utama, forum utama akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis tajuk dan features. Sifat-sifat tersebut merupakan hal yang harus dipenuhi oleh ragam bahasa jurnalistik mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Dengan kata lain bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar. Oleh karena itu bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya  dengan mengutamakan daya komunikasinya.
            Bahasa Indonesia jurnalistik atau bahasa Indonesia ragam jurnalistik juga mempunyai ciri-ciri sendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa lain. Prof. John Hohenberg menyatakan bahwa tujuan semua penulisan karya jurnalistik adalah menyampaikan informasi, opini, dan ide kepada pembaca secara umum (Abdul Chaer, 2010: 2).

II.    Pembahasan
A.    Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Di awal tahun 1980-an terbersit berita bahwa bahasa Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku. Roni Wahyono (1995) menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Semarang dan Yogyakarta pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang dilakukan wartawan terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi. Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal.
      Terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa Indonesia baku:
1.      Peyimpangan morfologis
Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya:
(1)   Pemerintah Nyatakan Kasus Wamena Selesai (Tempo, 6/10/10, “Pemerintah Nyatakan Kasus Wamena Selesai”). Jika menilik pada bahasa Indonesia yang benar, kalimat aktif di atas seharusnya: Pemerintah Menyatakan Kasus Wamena Selesai.
(2)   DPR Dukung Sikap Presiden (Tempo, 6/10/10, “DPR Dukung Sikap Presiden”). Seharusnya: DPR Mendukung Sikap Presiden.
(3)   Presiden Minta TNI Bantu Polisi Perangi Terorisme (Tempo, 6/10/10, “Presiden Minta TNI Bantu Polisi Perangi Terorisme”). Seharusnya: Presiden Meminta TNI Bantu Polisi Perangi Terorisme.
(4)   Presiden Intruksikan Pengadaan Rumah untuk Prajurit (Tempo, 6/10/10, “Presiden Intruksikan Pengadaan RUmah untuk Prajurit”). Seharusnya: Presiden Mengintruksikan  Pengadaan Rumah untuk Prajurit.
(5)   DPR Pilih Dua Calon Hakim Agung (Tempo, 6/10/10, “DPR Pilih Dua Calon Hakim Agung”). Seharusnya: DPR Memilih Dua Calon Hakim Agung.
(6)   Penebangan Hutan Undang Banjir di Wasior (Tempo, 6/10/10, “Penebangan Hutan Undang Banjir di Wasior”). Seharusnya: Penerbangan Hutan Mengundang Banjir di Wasior.
(7)   Gubernur Tawarkan Singkong ke Slovakia (Tempo, 6/10/10, “Gubernur Tawarkan Singkong ke Slovakia”). Seharusnya: Gubernur Menawarkan Singkong ke Slovakia.
(8)   Kecelakaan Terbang di Bandung Air Show (Tempo, 6/10/10, “Kecelakaan Terbang di Bandung Air Show”). Seharusnya: Kecelakaan Penerbangan di Bandung Air Show.
(9)   Bank Sentral Jaga Volatilitas Rupiah (Tempo, 6/10/10, “Bank Sentral Jaga Volatilitas Rupiah”). Seharusnya: Bank Sentral Menjaga Volatilitas Rupiah.
(10)  WTO Kurang Kompak Atasi Putaran Doha (Tempo, 6/10/10, “WTO Kurang Kompak Atasi Putaran Doha”). Seharusnya: WTO Kurang Kompak Mengatasi Putaran Doha.
(11)  Pengaduan Pajak Capai Ratusan Kasus (Tempo, 6/10/10. “Pengaduan Pajak Capai Ratusan Kasus”). Seharusnya: kata capai diubah menjadi mencapai.
(12)  Pemerintah Kota Minta RP 1 Miliar Per Tahun (Tempo, 6/10/10, “Pemerintah Minta RP 1 Miliar Per Tahun). Seharusnya: kata minta digan menjadi meminta.
2.      Kesalahan sintaksis
Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh:
(1)    Pembunuh Tegal Alur Terpincut Emas Imitasi (Tempo, 6/10/10).
Pada conoh (1) jika kita hanya membaca sekilas judul berita di atas tanpa membaca isinya, maka kita kan mempunyai makna ganda, karena Tegal Alur sebenarnya adalah nama sebuah TPU Kristen di daerah Jakarta Barat. Makna yang akan kita dapat adalah, apakah pembunuh itu membunuh semua jenazah yang di makamkan di TPU tersebut, atau yang korban pembunuhan itu bernama Tegal Alur.
(2)    Polisi Larang Pendakian Singgalang (Tempo, 6/10/10, “Polisi Larang Pendakian Singgalang”).
Seharusnya: polisi   Melarang Pendakian ke Singgalang. Contoh (2) karena tidak memakai tanda hubung ke maka kalimat akan menjadi rancu
(3) Pengusaha Yakin Penuhi Target Produksi Batu Bara (Tempo, 6/10/10, “Pengusaha Yakin Penuhi Target Produksi Batu Bara”). Seharusnya: Pengusaha Meyakini dapat Memenuhi Produksi Batu Bara. pada contoh (3) kata dapat yang dihilangkan membuat kalimat menjadi janggal/rancu.
(4) Tersengat RMS di Belanda (Tempo, 6/10/10, “Tersengat RMS di Belanda”). Pada contoh (4), kalimat menjadi rancu karena penanggalan salah satu unsurnya yakni penanggalan Subjek. Jika dibuat pertanyaan “siapa yang tersengat RMS di Belanda?” dan jawaban yang akan diperoleh pada berita tersebut adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
(5) Mengistimewakan Awang Faroek (Tempo, 6/10/10, “Mengistimewakan Awang Faroek”).
Pada contoh (5) sama seperti contoh (4), kalimat di atas kehilangan unsure Subjek. Sehingga kalimat menjadi rancu/tidak efektif.
(6) Mas Timung, Calon Kapolri Asal Jombang (Tempo, 6/10/10, “Mas Timung, Calon Kapolri Asal Jombang”).
Kalimat di atas akan menjadi kalimat efektif apabila kata adalah tidak ditanggalkan. Mas Timung adalah Calon Kapolri Asal Jombang, karena faktor keekonomisan dalam penulisan judul maka kata adalah dilesapkan.
(7) Sidang Korupsi Digelar Sore Diporotes (Tempo, 6/10/10, “Sidang Korupsi Digelar Sore Diprotes”).
Kalimat di atas  mengalami kerancuan/kejanggalan karena menimbulkan ketaksaan. Maksud yang diprotes dalam kalimat tersebut adalah Sore atau kata sore menunjukan keterangan waktu. Kalimat tersebut akan menjadi kalimat efektif apabila dibubuhi tanda baca (,) koma. Seharusnya: Sidang Korupsi yang Digelar Sore Hari, Diprotes.
(8) Pengusaha Yakin Penuhi Target Produksi Batu Bara (Tempo, 6/10/10, “Pengusaha Yakin Penuhi Target Produksi Batu Bara”). Seharusnya: Pengusaha Meyakini dapat Memenuhi Target Produksi Batu Bara atau Pengusaha Yakin dapat Penuhi Target Produksi Batu Bara.
(9) Kalau Jong-chul Dianggap Agak Feminim (Tempo, 6/10/10, Kalau Jong-chul Dianggap Agak Feminim”). Kata kalau membuat kalimat di atas menjadi rancu, karena biasanya kata kalau digunakan untuk kalimat pengandaian sama dengan kata seperti tetapi dalam konteks tidak baku. Seharusnya: Jong-chul Dianggap Agak Feminim atau Seandainya Jong-chul Dianggap Agak Feminim.
(10) Dokumen Calon Haji Akan Disita (Tempo, 6/10/10, “Dokumen Calon Haji Akan Disita”). Pada contoh (10) terjadi kerancuan kalimat maknanya menjadi janggal karena terdapat salah satu unsur yang ditanggalkan, yakni keterangan, siapa yang menyita dokumen tersebut? Jawaban yang akan  ditemukan adalah Kementerian Agama Kantor Wilayah Jawa Timur.
3.      Kesalahan kosakata
Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan. Contoh:
(1)   Tony Sukasah, staf ahli Bupati Bekasi, ditahan di lembaga pemasyarkatan Bulak Kapal (Tempo, 6/10/10, Mantan Kepala Dinas Pendidikan Bekasi Ditahan”). Lembaga pemasyarakatan sama dengan penjara. Untuk meminimalkan dampak buruk pemberitaan maka digunakan eufemisme/penghalusan.
4.      Kesalahan ejaan
 Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 6 Oktober 2010 yang lalu tidak luput dari  kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan  terjadi dalam penulisan kalimat dalam hal ini pemakaian tanda baca koma (,) dan pada kasus EYD (penggunaan kata baku dan kata tidak baku).
(1)   Menurut Julian, adanya pihak-pihak yang menyatakan bakal ada menteri yang dilengserkan dari cabinet merupakan hal yang wajar…(Tempo, 6/10/10, “Presiden Akan Ganti Lima Menteri”). Kata bakal adalah kata yang tidak baku seharusnya dapat diganti dengan kata akan.
(2)   Namun kemarin kondisi ibu kota Kabupaten Jayawijaya ini berangsur normal (Tempo, 6/10/10, “Pemerintah Nyatakan Kasus Wamena Selesai”). Seharusnya: Namun, kemarin kondisi ibu kota…. Seharusnya setelah kata namun dibubuhi tanda baca koma (,).
(3)   Selain itu, ada dua orang lagi yang kena tembak…(Tempo, 6/10/10, “Pemerintah Nyatakan Kasus Wamena Selesai”). Kata kena tidak baku seharusnya terkena.
(4)   Namun tidak terserap karena pelaksanaannya gagal (Tempo, 6/10/10, “Mantan Kepala Dinas Pendidikan Bekasi Ditahan”). Kalimat di atas seharusnya: Namun, tidak terserap karena pelaksanaannya gagal.
Selain contoh-contoh yang disebutkan di atas, kesalahan ejaan banyak ditemukan terutama dalam penaggalan tanda baca koma (,) setelah kata keterangan.
5.      Kesalahan pemenggalan
Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
Contoh:
(1)   “Semua aparat di daerah harus lebih aktif,” kata Yud-hoyono…(Tempo, 6/10/10, “Presiden Minta TNI Bantu Polisi Perangi Terorisme”). Kata yang dicetak miring adalah nama belakang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kata Yudhoyono bila dipenggal seharusnya: Yu-dhoyono.
(2)   …Sri mendapat 46 suara, dan Sofyan mengumpulkan 29 sua-ra…(Tempo, 6/10/10, “DPR Pilih Dua Calon Hakim Agung”). Kata suara, apabila dipenggal seharusnya: su-a-ra.

Untuk menghindari beberapa kesalahan seperti diuraikan di atas adalah melakukan kegiatan penyuntingan baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, dan ejaan. Selain itu, pemakai bahasa jurnalistik yang baik tercermin dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik.

B.     Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik

Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan dua jenis bahasa  yaitu seperti yang disebut Halliday (1972)  sebagai fungsi ideasional dan fungsi tekstual atau fungsi referensial, yaitu wacana yang menyajikan fakta-fakta. Namun, persoalan muncul bagaimana cara mengkonstruksi bahasa jurnalistik itu agar dapat menggambarkan fakta yang sebenarnya. Persoalan ini oleh Leech (1993)  disebut retorika tekstual yaitu kekhasan pemakai bahasa  sebagai alat untuk mengkonstruksi teks. Dengan kata lain prinsip ini juga berlaku pada bahasa jurnalistik.
Terdapat empat prinsip retorika tekstual   yang dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas. 
  1. Prinsip prosesibilitas
Menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
Penyusunan bahasa jurnalistik dalam surat kabar berbahasa Indonesia, yang menjadi fakta-fakta harus cepat dipahami oleh pembaca dalam kondisi apa pun agar tidak melanggar prinsip prosesibilitas ini. Bahasa jurnalistik Indonesia disusun dengan struktur sintaksis yang penting mendahului struktur sintaksis yang tidak penting .
Contoh:
(1)   Presiden Susilo Bmbang Yudhoyono membatalkan lawatannya ke Belanda pada menit-menit akhir menjelang keberangkatannya di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, kemarin.
Setelah menungggu dua jam di bandara, Yudhoyono mengungkapkan alas an pembatalan kunjungan yang sedianya….
“ada pergerakan yang menuntut soal hak asasi manusia di Indonesia dan menunutut agar Presiden RI ditangkap….
Menurut Yudhoyono, ancaman keamanan terhadap kepala negara di luar negeri merupakan hal lazim…. (Tempo, 6/10/10, “Tersengat RMS di Belanda”).
Pada contoh (1) pernyataan disusun dengan struktur sintaksis yang penting mendahului struktur sintaksis yang kurang penting. Paragraph pertama disusun mendahului pparagraf  ke-dua karena dianggap isi beritanya lebih penting. Pada penyusunan/penulisan sebuah berita disusun seperti pyramid terbalik. Contoh (1) mewakili contoh-contoh lainnya yang ditemukan pada Tempo edisi 6 Oktober 2010.
2.      Prinsip ekonomi
Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang wacana jurnalistik dikonstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintaksis yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacana jurnalistik.
Contoh:
(1)      …Padahal Timur diyakini tahu banyak ihwal pertanggungjawaban dalam struktur komando, meski penanggung jawab keamanan dalam Sidang Utama MPR kal itu adalah ABRI. Itu sebabnya, ia mendesak Komnas HAM….. (Tempo, 6/10/10, “Timur Dibayangi Tragedi Trisakti”).
(2)   Mas Timung, Calon Kapolri Asal Jombang (Tempo, 6/10/10, “Mas Timung, Calon Kapolri Asal Jombang”).
Pada contoh (1) terdapat abreviasi MPR,ABRI, dan HAM. Pada contoh (2 )terdapat pula bentuk akronim: kapolri.
      Hampir di setiap berita ditemukan unsur akronim/singkatan, hal ini atas pertimbangan unsur keekonomisan atau kepraktisan.
      Elipsis merupakan salah satu cara mereduksi konstituen sintaktik dengan melesapkan konstituen tertentu.
(1)   DPR Dukung Sikap Presiden  (Tempo, 6/10/910, “DPR Dukung Sikap Presiden”).
Pada contoh (1) terdapat pelepasan afiks me(N)- pada verba dukung. Pelepasan afiks seperti contoh (1) di atas sering terdapat pada judul wacana jurnalistik.
Pronominalisasi merupakan cara mereduksi teks dengan menggantikan konstituen yang telah disebut dengan pronomina. Pronomina Pengganti biasanya lebih pendek daripada konstituen terganti.
(1)   Pendapat yang sama dikemukakan oleh oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S, Pane. Menurut dia, Yudhoyono menunjuk Timur karena memiliki kedekatan (Tempo, 6/10/10, “Yudhoyono dan Timur Pernah Bertemu di Bosnia”).
(2)   Timur Pradopo lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 10 Januari 1956. Sejak akhir 2008 dia adalah Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, dan sebelumnya Kepala Polda Banten (Tempo, 6/10/10, “Timur Pradopo Dibayangi Tragedi Trisakti”).
(3)   Namun, Andi Kosasih membantah. Dia mengaku datang ke Hotel Sultan sekitar pukul 20.30 WIB (Tempo, 6/10/10, “Faber Diduga Beri Keterangan Palsu”).
Pada contoh (1), (2), da (3) tampak bahwa dia pada kalimat kedua merupakan pronominalisasi kalimat pertama. selain dua contoh di atas banyak ditemukan kasus pronominalisasi pada Koran Tempo edisi 6 Oktober 2010.
3.      Prinsip ekspresivitas
Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian.
(1)   Pembatalan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda diharapkan bisa memberikan pesan jelas kepada Negeri Kincir Angin itu agar tak memberi ruang gerak bagi aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) (Tempo, 6/10/10, “Ini Konflik RI dan RMS”).
(2)   Penebangan hutan yang dilakukan 10 tahun terakhir dituding sebagai penyebab banjir bandang di Wasior, Senin lalu. Akibatnya, ibu kota Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, itu lumpuh dan terisolasi. Puluhan orang ditemukan tewas….(Tempo, 6/10/10, “Penebangan Hutan Undang Banjir di Wasior”).
Pada contoh (1) dan (2) tampak bahwa kalimat  tersebut mengandung sebab akibat/kausalitas. Selain contoh di atas banyak ditemukan kasus ekspresivitasyang menyatakan hubungan kausalitas pada berita-berita di Koran Tempo edisi 6 Oktober 2010.

4.      Prinsip Kejelasan
Prinsip yang digunakan agar teks mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks yang digunakan tidak mengandung ketaksaan (ambiguity). Hal ini ditandai pengguaan kata-kata harfiah bukan metaforis.
Contoh:
(1)   Sidang Korupsi Digelar Sore Diprotes (Tempo, 6/10/10, “Sidang Korupsi Digelar Sore Ditangkap”). Kata Sore pada judul berita tersenut menimbulkan ketaksaan (ambiguity), sebab tidak jelas menyatakan posisi/makna kata sore, apakah bermakan sebagai kata keterangan yaitu sore hari ataukah sore adalah nama seseorang yang diprotes. Kasus ini teradi karena penangglan tanda baca koma (,) yang harusnya ada unutuk memisahkan antara kata sore dengan kata diprotes.






C.    Syarat Bahasa Jurnalistik
1.      Menarik
 Penemuan, bahasa yang digunakan koran Tempo menarik, sehingga mampu menarik (memasukan unsur humor) perhatian pembaca, ada salah asatu kolom yang menggunakan bahasa ejaan Soewandi “Tempo Doeloe” di rubrik Metro.
Contoh kutipan:
 Lantaran  Bermain
Top di Petodjo ditahan seorang bernama Tong, jang meloekaken wijkmeester melarang orang bermain top. Item soedah dibawa ke roemah sakit karena soedah riboet dengan temennja ketika bermain top dan dipoekoel kakinja hingga hampir patah. Si Entong dirawat oleh politie karenja hingga loeka kepalanja, karena disangka bermain tjorang, prang jang loeka itoe dibawa ke roemah sakit (Tempo, 7/10/10).
2.       Variataif
Penemuan, pemilihan diksi yang tepat membuat koran Tempo kuat dalam segi penjelasan makna. Makna yang dihasilkan langsung tertuju pada titik pusat berita.
Contoh judul berita:
Tersengat RMS di Belanda.
Kata tersengat  menunjukan pemilihan kata yang variatif. Penggunaan kata tersengat yang biasanya digunakan untuk lebah membuat bahasa tampak hidup dan segar.
3.      Segar
Contoh judul berita pada nomor 2 menimbulkan penggunaan bahasa yang segar.
4.      Berkarakter
Bahasa yang digunakan pada koran Tempo mempunyai karakter sendiri. Bahasa yang dibangun yang agak menohok dan berani.
Contoh: judul berita pada nomor 2 menunjukan karakter tempo yag berani.
5.      Ringkas
Koran ini menyajikan berita yang ringkas, tetapi tuntas. Berita yang disuguhkan tidak panjang tetapi tepat sasaran. Tidak ada berita yang bersambung. Habis satu kali baca.
6. Lugas
          Lugas berarti tidak memihak, tidak mengenal kekerabatan.
Contoh:
 Belanda Tetap Menanti Yudhoyono, tidak diganti  dengan Bapak Presiden Yudhoyono  (Tempo, 6/10/10, “Di Belanda Semua Sudah Siap”).
       7. Logis
Peristiwa dan bahasanya logis, menghindari dari kata-kata akun seperti: kira-kira   diganti dengan dugaan/menduga/diduga/ditemukan.
Contoh: Korban tewas banjir wasior  yang sudah ditemukan 56 orang (Tempo, 6/10/ 10, “Penebangan Hutan Undang Banjir di Wasior”).
8.  Dinamis
Bahasa yang digunakan pada Koran tempo memenuhi unsure dinamis. Kedinamisan ini muncul karena bahasa-bahasa yang digunakan berfarisi, segar, mengikuti perkembangan bahasa tidak kaku.
9.       Demokratis
Bahasa demokratis berarti bahasa yang tidak kaku. Bahasa jurnalistik sendiri adalah termasuk bahasa yang demokratis tidak terikat akan sesuatu yang mutalah seperti bahasa Indonesi ragam ilmiah, tetapi tidak sepenuhnya meninggalkan kaidah bahasa Indonesia yang benar.
10.   Populis
Bahasa-bahasa yang digunakan pada kora Tempo termasuk bahasa yang populis/popular, yakni bahasa yang sudah dikenal dan digunakan masyarakat.seperti penggunaan kata harapan dalam tulisan beria. Kata harapan tidak diganti dengan kata asa walaupun maknanya sama, tetapi tingkat kepopulerannya berbeda. Kata harapan lebih populis/dikenal daripada kata asa.

D.    Penyimpang yang Ditemukan pada Bahasa Jurnalistik
a.     Kemubaziran bahasa pada aspek gramatikal (tata bahasa) dan ortografi (ejaan).
Penemuan, perbedaan bahasa jurnalistik dengan bahasa Indonesia; penghilangan afiks pada kalimat aktif yang sering digunakan pada judul berita tidak sejalan dengan prinsip tata bahasa Indonesia yang baku.
Contoh: DPR Dukung Sikap Presiden, bandingkan
              DPR Mendukung Sikap Presiden, (Tempo,6/10/10, “DPR Dukung Sikap   Presiden”). Terjadi penghilangan prefix me-.
b.      Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi.
Contoh:
Kesalahan gramatikal seperti contoh nomor 1.
Kesalahan ortografi, ditemukan pada kesalahan ejaan yang telah dibahas pada kasusu kesalahan ejaan..
c.        Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal.
Pada berita olahraga banyak menggunakan bahasa-bahasa yang memakai majas metafora.
Contoh:
(1)      Tim yang berjulukan Beruang Madu itu menurunkan duet Aldo Barreto asal Paraguay dan Khairul Amri dari Singapura… (Tempo, 6/10/10, “Rivalitas Pemain Asing”). Kata duet dipakai kara kerjasama anatar dua pemain ini diibarakatkan seperti duet bernyanyi.
(2)      Lorenzo Perang dengan Rossi (Tempo, 6/10/10, “Lorenzo Perang dengan Rossi”). Lorenzo dengan Rossi diibaratkan berperang seperti perang sebenarnya pada medan pertempuran yang biasanya terjadi seperti Palestina Perang dengan Israel.





E.      Karakteristik Bahasa di Media
1. Stigmatisasi atau penjulkan
Stigmatisasi atau pelabelan yakni suatu sebutan yang diberikan oleh media kepada seseorang atau sekelompok orang yang menyebutnya dan sebutan tersebut mempunyai makna negatif.
Contoh:
(1)   Jaksa, hakim, dan pengacara Andi Kosasih menduga Faber T.B. silalahi member keterangan palsu soal rekayasa uang RP 28 miliar terdakwah mafia pajak, Gayus Tambunan…(Tempo, 6/10/10, “ Kejaksaan: Cyrus Sinaga Tak Terindikasi Pidana”). Kata mafia pajak adalah stigma/julukan yang berarti orang yang melakukan penggelapan/penjahat pajak.
(2)   Korban Lumpur Lapindo Menolak Pindah (Tempo, 6/10/10, “Korban Lumpur Lapindo Menolak Pindah”).
(3)   …menjadi tanggung jawab pemerintah lewat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo…( Tempo, 6/10/10, “Korban Lumpur Lapindo Menolak Pindah”).
(4)   Tim berjulukan Beruang Madu itu menurunkan duet Aldo Barreto asal Paraguay dan Khairul Amri dari Singapura…(Tempo, 6/10/10, “Rivalitas Pemain Asing”).
(5)   Pemain mungil Argentina berusia 23 tahun itu juga diganjar premi di Stefano sebagai pemain terbaik La Liga untuk dua musim berturut-turut (Tempo, 6/10/10, “Messi Terima Trofeo Pichichi”).
2. Majas
Dalam bahasa juranalistik banyak menggunakan majas/gaya bahasa seperti:
1.      Eufisme (penghalusan)
Contoh:
(1)   Tony, yang kini menjabat staf Ahli Bupati Bekasi, dijebloskan ke lembaga permasyarakatan Bulak Kapa, Bekasi, kemarin sore setelah menjalani pemeriksaaan marathon hamper sehari penuh (Tempo, 6/10/10, “Mantan Kepala Dinas Pendidikan Bekasi Ditahan”).



2.      Disfemisme (pengerasan)
Contoh:
(1)   Mereka yang masih mendekam di balik jeruji adalah Aleks Wetapo, 35 tahun dan Oto Wetapo, 33 tahun… (Tempo, 6/10/10, “Pemerintah Nyatakan Kasusu Wamena Selesai”). Kata jeruji merupakan disfemisme dari kata penjara.
3.      Metafora (perumpamaan)
Contoh:
(1)   …hubungan Jakarta-Den Haag yang memang rawan retak. ”Seperti berjalan di atas kulit telur”…(Tempo, 6/10/10, “DPR Dukung Sikap Presiden”). Yang bercetak iring adalah contoh dari majas metafora.
(2)   “Bagaimana mendapatkan hakim kredibel kalau tidak jemput bola…(Tempo. 6/10/10, “DPR Pilih Dua Calon Hakim Agung”).
(3)   Tony, yang kini menjabat staf Ahli Bupati Bekasi, dijebloskan ke lembaga permasyarakatan Bulak Kapa, Bekasi, kemarin sore setelah menjalani pemeriksaaan maraton hampir sehari penuh (Tempo, 6/10/10, “Mantan Kepala Dinas Pendidikan Bekasi Ditahan”).
(4)   Sebuah pengadilan di kota Amsterdam, Belanda, kemarin menunda siding kasus pencemaran nama baik dengan terdakwa politikus sayap kanan, Gert Wilders (Tempo, 6/10/10, “ Sidang Wilders Ditunda”).
(5)   Lorenzo Perang dengan Rossi (Tempo, 6/10/10, “Lorenzo Perang dengan Rossi”).
(6)   Tim berjulukan Beruang Madu itu menurunkan duet Aldo Barreto asal Paraguay dan Khairul Amri dari Singapura…(Tempo, 6/10/10, “Rivalitas Pemain Asing”).

4.      Personifikasi (perbandingan)
Contoh:
(1)   Isu reshuffle kembali berembus menjelang setahun umur Kabinet Indonesia Bersatu II pada 20 Oktober mendatang (Tempo, 6/10/10, “Presiden Akan Ganti Lima Menteri”). Kata berembus merupakan majas personifikasi karena dibandingkan seperti angin yang biasanya berembus.

3.Propaganda
Propaganda dapat diartikan sebagai suatu ungkapan yang ditunjukan untuk mempengaruhi orang lain, agar orang lain terkelabui dengan bahasa itu. Propaganda merupakan kata-kata kampanye yang berisi setengah janji atau legalisasi yang mempunyai sebuah alas an yang mempunyai unsur  menjual.
Contoh:
(1)   Menurut Yudhoyono, ancaman keamanan terhadap kepala negara di luar negeri merupakan hal lazim. “Tepi, kalau sampai digelar pengadilan, (Ini) menyangkut harga harga diri sebagai bangsa,” katanya dengan suara serak dan bergetar (Tempo, 6/10/10, “Tersengat RMS di Belanda”). Kalimat yang dicetak miring merupakan contoh dari propaganda.
(2)   Ini Konflik RI dan RMS (Tempo, 6/10/10, “Ini Konflik RI dan RMS”).
4.  Akronimisasi
Pemakain sebuah singkatan seperti akoronim atau abreviasi untuk mendukung prinsip keekonomisan pada ahasa jurnalistik.
(1)   “Karena kapolri harus mengamankan kebijakan-kibajakan Presiden, loyalitas inilah yang menjadi pertimbangan,… (Tempo, 6/10/10, “Yudhoyono dan Timur Pernah Bertemu di Bosnia”).
(2)   “Dia tak kooperatif dalam penegakan HAM, katanya kemarin… (Tempo, 6/10/10, “Timur Pradopo Dibayangi Tragedi Trisakti”).
(3)   … dalam siding Utama MPR kala itu adalah ABRI… (Tempo, 6/10/10, “Timur Pradopo Dibayangi Tragedi Trisakti”).
(4)   “Pada 1995, Yudhoyono menjadi Komandan Pasukan Perdamaian di Bosnia-Herzegovina dengan pangkat brigjen (Tempo, 6/10/10, “Yudhoyono dan Timur Pernah Bertemu di Bosnia”).
(5)   Presiden Minta TNI Bantu Polisi Perangi Terorisme (Tempo, 6/10/10, “Presiden Minta TNI Bantu Polosi Perangi Terorisme”).
(6)   Namun, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri saat itu, Komisaris Jendral Susno Duaji…(Tempo, 6/10/10, “ Faber Diduga Beri Keterangan Palsu”).
Selain contoh-contoh yang telah disebutkan, masih banyak lagi contoh akronim yang terdapat pada isi berita Koran Tempo edisi 6 Oktober 2010.
5.   Tehnical Reasoning
Tehnical Reasoning merupakan sebuah alas an teknis yang biasanya dipakai unut menyatakan bahwa pernyataan tersebut mempunyai argumentasi, tetapi argumentasi tersebut bukan argumentasi logika melainkan argumentasi teknis (alas an teknis), seolah-olah berlindung pada sesuau hal (undang-undang).
Contoh:
(1)   Jaksa Agung Muda BIdang Intelejen menyatakan buku-buku tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila…(Tempo, 6/10/10, “ Mengapa Masih Memberangus Buku?”).
(2)   Dalam pernyataannya sesaat setelah siding bergulir, Wilders mengulangi kembali pendapatnya bahwa semua komentarnya dilindungi undang-undang kebebasan berbicara. “Secara resmi saya disidang di sini, hari ini. Namun, bersama saya, kebebasan berpendapat banyak, banyak rakyat Belanda juga ikut diadili,” katanya (Tempo, 6/10/10, “Sidang Wilders Ditunda”).
III.  Kesimpulan
Bahasa jurnalistik atau bahasa Indonesia ragam jurnalistik merupakan ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia. Bahasa juralistik berbeda dengan ragam bahasa Indonesia lainnya, seperti bahasa akademik dan bahasa literat, yang mempunyai cirinya masing-masing. Bahasa jurnalistik mempunyai ciri penggunaan bahasanya yang singkat, padat tetapi informasinya dapat tersampaikan. Jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia baku yang taat pada aturan bahasa Indonesia ang benar, bahasa Jurnalistik sering meningglakan kaidah bahasa Indonesia, terutama yang sering ditemukan dalam penulisan judul berita. Dalam penulisan judul berita, dalam kaidah bahasa Jurnalistik akan menanggalkan imbuhan (prefiks me-) karena memandang pada prinsip keekonomisan. Selain itu banyak juga ditemukan kesalah dan penyimpangan lain seperti kesalahan morfologis, sintaksis, kosa kata, ejaan dan pemenggalan. Walaupun demikian, pada bahasa Jurnalistik tidak sepenuhnya meningglakn kaidah bahasa Indonesi baku.
                                                         


DAFTAR PUSTAKA


Budyanta, Muhammad. (2009). Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Chaer, Abdul. (2010). Bahasa Jurnalistik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Koran Tempo, Edisi: Rabu, 6 Oktober 2010.